Selama dua tahun terakhir, pikiran
saya tidak kunjung khatam memikirkan bagaimana cara keluar dari rasa sakit. Berkali-kali
saya mencari jalan keluar, berkali-kali saya mendengar bahwa kuncinya adalah
menerima keadaan. Saya memang setuju dengan jawaban itu. Namun, jawaban tersebut tidak kunjung memenuhi kepuasan
hati dan pikiran saya. Pikiran saya berlanjut mempertanyakan cara mengubah
kondisi saya yang belum bisa menerima keadaan menjadi sebaliknya.
“kok bisa berakhir seperti ini?”
“kok bisa setega itu?”
dan pertanyaan-pertanyaan lain
yang menunjukkan kekecewaan kepada orang terpercaya terus terngiang memenuhi
pikiran. Hingga hampir dua tahun lamanya, saya akhirnya menyadari satu jawaban
yang melegakan mengenai hal itu.
Pada akhirnya, saya mencapai puncak
kelelahan memfokuskan diri pada apa yang telah orang lain lakukan. Sekeras apapun
rintihan yang disuarakan, tak menjamin akan merubah keadaan menjadi seperti
yang diharapkan. Saya menyadari bahwa saya memang tidak sesempurna itu untuk
terus menerus dikasihi, dihargai dan diperlakukan dengan baik oleh orang lain. Saya
pun akhirnya menyadari bahwa saya hanyalah manusia biasa yang memiliki
kekurangan sebagai perempuan dan memiliki keterbatasan sebagai hamba Tuhan.
Yaa, menyadari keterbatasan lah yang menjadi alasan di balik penerimaan terhadap takdir yang tidak sesuai harapan. Sebagaimana tawakal dianjurkan saat segala upaya sudah mencapai batasnya untuk dilakukan, menyerah untuk berusaha mengontrol tindakan orang lain yang tidak bisa kita kendalikan adalah cara paling bijak. Meskipun saya tidak bisa menjamin jawaban ini membuat segala kepahitan berhenti menghantui, tapi setidaknya kini saya memiliki cara yang cukup melegakan untuk mengendalikan pikiran saya.